“Assalamualaikum.
” Terdengar suara lemah yang sangat kukenal dengan logat Jogja yang sangat
khas.
“Wa’alaikumsalam. Ini dengan siapa
ya?”
“Aku Adi, Sya. Aku mau ngomong penting
sama kamu. Kamu bisa gak nanti dateng ke RS Husada? Uhuk uhukk..”
“Subhanallah! Adi? Kamu udah sadar,
Di?” Ucapku sambil menahan air mata. Air mata kebahagiaan.
Tiba-tiba, TUTUTUTUTUTTTTT.....
Arghhhh!!! Baterai hp ku lowbat!!!
Tanpa berpikir panjang-panjang, aku
langsung menancap gas sepeda motorku menuju RS Husada.
Aku sangat takut. Takut kalau nanti
adalah saat terakhirku dengannya. Tapi, aku tetap harus berpikir positif.
Walaupun aku tak tau apa sebenarnya penyakit yang diderita Adi, tapi aku tetap
harus optimis bahwa Adi bisa sembuh. Harus.
***
DUG
DUG DUG DUG DUG.....
Bunyi
sepatuku sangat terdengar di lorong rumah sakit itu. Aku melangkah cepat dengan
perasaan was-was, gundah, serta khawatir.
BRUKKKK. Aku menabrak seorang wanita
paruh baya bermata coklat. Dia adalah Ibu Adi.
“Tante?”
“Nak Tasya?”
“Iya, Te, saya Tasya. Kamar Adi dimana
ya, Te?”
“Tinggal lurus, terus belok kiri.
Nanti ada kamar nomor 23, tinggal masuk saja, Nak”
“Terima kasih, Te. Ngomong-ngomong,
Tante ngapain disini?”
“Mau beli jus buat Adi. Dari tadi udah
ditunggu Adi lho Nak, ayo cepet kesana!”
“Saya duluan ya, Tante”
“Iya.”
Itu
dia kamar nomor 23 di lantai 2 RS Husada, dengan pintu warna coklat muda dan
pot bunga mawar merah yang berukuran besar.
“Adi?”
“Tasya?”
Akupun
langsung menghampirinya di tempat tidur yang berwarna putih itu. Tubuhnya
terlihat lemah, wajahnya pucat, dan kepalanya diperban. Ingin aku meneteskan
air mata karena melihat kondisinya yang seperti itu.
“Sore,
Tasya! Gimana kabarnya?”
Aku
hanya menatapnya dengan tatapan iba tanpa menjawab pertanyaannya. Ingin aku
memeluknya sambil berkata “Adi, aku merindukanmu.”
“Lha
kok kamu kayak mau nangis gitu, Sya? Kenapa? Kamu nggak lagi sakitkan?”
Ya
Tuhan, disaat seperti ini pun, dia masih memikirkan kesehatanku. Anak siapa
ini, Tuhan? Apakah dia anak malaikat?
“Tasya?
Tasyaaa? Kamu kok liatin aku begitu sih?”
“Eh,
maaf maaf. Iya, aku baik kok. Kamu gimana? Apanya yang sakit?”
“Seperti
yang kamu lihat. Aku baik-baik aja kok. Aku minta kamu kesini karena aku kangen
sama kamu, Sya.”
“Kalau
kangen kan bisa telpon atau SMS, Di.”
“Tapi
aku maunya ketemu langsung.”
“Ngomong-ngomong,
Ayah kamu dimana? Kok dari tadi gak kelihatan?”
“Ayahku
masih di luar kota. Beliau akan ngambil penerbangan pagi buat kesini
secepatnya. Hmm, Sya, tentang surat itu..gimana?”
“Gimana?
Gimana apanya?”
“Kamu
suka juga nggak sama aku, Sya?”
“Tapi
kok bilangnya lewatnya surat gitu sih, kalo cowok kan seharusnya bilangnya
langsung dong. Hihihi”
“Oke
deh, aku ulang lagi. Tasyahila Rosova, kamu mau nggak jadian sama aku?”
Astaga,
dia memegang tanganku sambil mengucapkan kata-kata yang bisa membuatku terbang
ke langit ke-7. Apakah ini mimpi, Tuhan?
“Tidak
akan.”
“Ha?
Jadi kamu nggak suka.....”
“Kan
aku belum lanjutin perkataanku, Adi.”
“Maksud
kamu?”
“Tidak
akan pernah bisa menolaknya.”
“Jadi
kamu mau?”
“Iya.”
“Bener?”
“Iya,
Adi.”
“Yes!!
Yes!! Yessss!! Aaaww aw aww!!”
Rupanya,
kepalanya terasa sakit karena dia terlalu banyak tingkah. Dasar, Adi!
“Karena
sekarang aku pacar kamu, jadi kamu harus dengerin aku ya? Mulai sekarang kamu harus
istirahat terus dan jangan banyak bergerak, kan kamu masih sakit, Di.”
“Iya,
cantik.”
Inilah
akhir ceritaku. Ceritaku bersama Adi Sadewa. Ya, pemilik nama itu telah merubah
segalanya menjadi lebih indah. Terkadang aku berpikir hidup ini seperti film,
ada adegan bahagia dan adegan sedih. Well, aku telah menemukannya, menemukan
seseorang yang membuatku merasa spesial, bagaimana denganmu?
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar