Kamis, 30 April 2015

Antara Aku, Kau, dan Tuhan (Bagian terakhir)


NAYA POV
            “Assalammualaikum.”, ucapku sambil melangkahkan kaki ke dalam rumah tercinta.
            Aku melihat kedua orang tuaku sedang bersantai di depan sebuah televisi berukuran 32” sambil membaca beberapa bacaan ringan seperti majalah dan koran.
            “Wa’alaikumsalam. Naya kok pulangnya malem begini?”
            “Iya, Pa. Tadi agak macet soalnya.”
            “Sudah Shalat Isya?”
            “Belum, Ma.”
            “Kenapa belum Shalat? Jangan-jangan kamu diajarin sama pacar kamu itu buat nggak Shalat ya!? Apa sih yang kamu harapkan dari dia? Cinta dan kasih sayang? Omong kosong!”, sahut Papa dengan sedikit membentak.
            “Apaan sih, Pa! Angga itu nggak seperti yang Papa pikirin! Dia baik!”
            “Kalau dibilangin sama orang tua itu nggak usah jawab aja!”
            Kata-kata Papa benar-benar seperti duri yang menusuk ke seluruh badanku. Tidak ada yang mengerti perasaanku di rumah ini. Bahkan Mama-pun hanya diam saja dan sama sekali tidak mengeluarkan sepatah katapun untuk membelaku.
            Air mata yang sedari tadi tertahan di pelupuk mata ini sudah tak dapat dibendung lagi. Aku pergi meninggalkan kedua orang tuaku dan segera berlari menuju kamar.
            Kurebahkan tubuhku di atas tempat tidur berwarna biru langit. Air mataku tumpah ruah di atas bantal bintang kesukaanku.
‘Kenapa belum Shalat? Jangan-jangan kamu diajarin sama pacar kamu itu buat nggak Shalat ya!? Apa sih yang kamu harapkan dari dia? Cinta dan kasih sayang? Omong kosong!’
            Kalimat itu terus terngiang-ngiang di telingaku.
            TOK! TOK! TOK!
            “Mama masuk ya?”
            Mama menghampiriku yang sedang terbaring di atas tempat tidur sambil terbungkus selimut.
            “Omongannya Papa jangan terlalu dimasukkan ke dalam hati, Naya. Kamu tau kan, Papa nggak bermaksud bikin Naya sedih.”
            Aku diam, tak membalas perkataan Mama. Mama terus membujukku agar tidak kesal tehadap Papa.
            “Boleh saja Naya marah seperti ini, tapi ingat, jangan pernah salahkan cinta, agama, apalagi Tuhan! Yang Mama tau, perbedaan itu ada untuk membuat kita menjadi logis dan lebih dewasa.”
            Aku tetap diam.
            “Perbedaan agama memang menjadi masalah besar dalam menjalin suatu hubungan, tapi ingat, jodoh itu Tuhan yang mengatur, bukan agama yang mengatur jodoh, sayang.”
             Mama benar. Kubuka selimutku dan langsung kupeluk beliau.
            “Ya sudah, Naya istirahat ya!”
            Kubalas perhatian Mama dengan senyuman. Lalu, Mama berjalan meninggalkan kamarku setelah memberiku beberapa kalimat pencerah.
            “Oh iya, Naya sudah bilang ke Angga kalau Naya mau ke Kairo?”, ucap Mama di tepat di depan pintu kamar.
            DEG!
            Seketika, jantungku berhenti bedetak.
            “Insya Allah besok, Ma.”
            Mama tersenyum dan meninggalkanku yang sedang berpikir bagaimana cara mengatakannya kepada Angga besok.
***
ANGGA POV
            Kuparkirkan mobil Ford Mustang EcoBoost warna merah milikku agak jauh dari pintu masuk Kedai Melcosh, cafe baru di daerah dekat rumah Naya yang terletak di Jl. Kaliurang Km. 23. Jarang sekali dia mengajakku seperti ini. Jika dia seperti ini, kemungkinana ada 2 alasan, yaitu antara dia memang ingin kesini karena ini adalah tempat baru atau dia ingin kesini untuk membicarakan sesuatu yang penting.
            “Sudah dari tadi di sini, Nay?”
            Cafe ini begitu ramai oleh beberapa pasangan kekasih dan beberapa kumpulan sahabat yang tengah menghabiskan waktu senggang mereka disini.
Kuhampiri Naya yang sedang duduk di pojok ruangan. Sore ini, Naya tampak cantik mengenakan t-shirt putih bertuliskan SLEEPY yang dipadukan dengan flare skirt hijau toska serta ankle boots putih yang dihiasi glitter.
            “Aku juga baru datang kok, Ngga.”
            Seorang waitress datang menghampiri kami sambil membawa 2 buah buku menu. Tidak sampai semenit, kami sudah menyebutkan menu pilihan kami.
            “Jadah bakar coklat sama latte machiato”, sahutku dan Naya berbarengan.
            Kemudian, waitress itu menulis pesanan kami berdua dan segera pergi.
            “Kamu suka jadah juga ternyata?”, tanyaku.
            Jadah adalah makanan khas daerah Kaliurang, Jogja. Di tempat ini, jadah dijadikan semakin lezat dan menarik dengan tambahan variasi rasa yang bermacam-macam, seperti rasa coklat, keju, dan lain-lain.
            “Suka dong.”, jawab Naya ceria.
            “Tapi, ngomong-ngomong, kok tumben kamu ngajak aku kesini? Ada apa?”
            Naya diam sebentar setelah kulontarkan pertanyaan itu. Dia seperti sedang mempersiapkan 1001 kata-kata di dalam otaknya.
            “Besok aku mau pergi ke Kairo.”
            DEG!
            Aku seperti tersengat tegangan listrik 220V. Rasanya ini tak mungkin. Aku yakin, kali ini Naya hanya sedang bercanda.
            “Kamu lagi bercanda, Nay?”
            “Aku serius, Angga.”
            Tuhan, dia serius!
            “Ngapain ke Kairo? Liburan?”
            “Bukan.”
            Lalu, apa kalau bukan liburan? Berkunjung ke sanak saudara? Tidak mungkin. Naya tak memiliki kerabat disana. Lalu, apa?
            “Angga, aku ngelanjutin pendidikan di Kairo.”
            “Ha?! Kok kamu baru ngabarin sekarang sih, Nay?”
            “Iya, maaf. Soalnya aku juga baru diberi tau kemarin lusa kalau aku dapat beasiswa ke Kairo.”
            “Nggak bisakah kita seperti kedua orang tuaku?”
            “Maksudmu, Ngga?”
            “Ibuku orang kristen, ayahku orang hindu. Mereka bisa hidup bersama walau beda keyakinan. Makanya, namaku ada unsur hindunya, tapi agamaku kristen.”
            Dia terdiam mendengarnya. Aku tau dia tak bisa menjawab pertanyaanku tadi.
            “Ah, sudah, lupain aja kata-kataku tadi! By the way, selamat ya, Anaya Merista! Wah, aku bangga sama kamu.”
           Aku tersenyum. Terseyum menutupi kesedihanku. Mengingat semua yang telah kita lakukan bersama-sama, tawa maupun duka, haruskah kita berpisah secepat ini? Haruskah?

NAYA POV
            Kukira dia akan menghentikanku untuk ke Kairo. Tapi ternyata tidak. Aku benar-benar berharap, dia akan memintaku untuk tetap tinggal di Indonesia. Jika dia memintaku, aku akan tidak akan pergi. Sejujurnya, ini bukan keinginanku, melainkan keinginan kedua orang tuaku.
            “Kamu mau kuliah di Universitas mana?”
            “Universitas Al-Azhar.”
            Dia melayangkan senyumnya lagi. Aku ingin tau, sebenarnya, apa sih arti senyuman seorang Airlangga Niagarawan barusan? Apakah senyuman itu benar-benar karena aku mendapat beasiswa ke Kairo atau senyuman itu hanya tipuan untuk menutupi rasa sedihnya?
            “Jurusan apa?”
            Lughah al-‘Arabiyyah wa al-Adab.”
            “Ha?! Itu jurusan apa?”
            Aku tersenyum seakan mengerti mengapa dia merasa asing dengan kalimat yang baru saja kuucapkan.
            “Jurusan tentang sastra Arab, tapi lebih tinggi tingkatannya, karena nanti juga akan dikenalkan tentang kebudayaan Arab.”
            “Sulit banget kedengarannya.”
            “Senior-senior yang dulu sih katanya banyak yang gagal di kuliah ini, karena nggak sanggup buat mengikuti pelajaran-pelajaran sastra Arab yang menuntut keuletan dan hafalan yang kuat serta penghayatan yang dalam.”
            Pembicaraan kami berdua semakin melebar kemana-mana. Seakan kami lupa dengan apa yang akan terjadi besok. Bahkan makanan dan minuman pesanan kami yang telah sampai di meja-pun teranggur begitu saja.
            “Terus, kalau jurusan syariah...syariah...syariah apa tadi, Nay?”
            “Syariah wal-Qanun?”
            “Iya, itu, Nay!”
            Kalau jurusan ini lebih terkonsentrasi pada hukum-hukum internasional dan hukum positif lainnya, dan lebih dekat ke hukum-hukum positif negara Mesir yang bersumber dari Perancis. Katanya sih, kuliah di jurusan ini cukup berat, karena tebalnya materi yang dipelajari, ditambah lagi dengan banyak kosa kata Arab kontemporer yang menuntut kita untuk belajar lebih giat.”
            “Terus, kalau.......”
            “Ah sudah ah, kamu mah dari tadi terus-terus melulu!”, balasku yang segera meneguk minuman favoritku; secangkir Latte Machiato.
***
            Akhirnya tibalah hari ini, hari sangat tidak kuharapkah, hari dimana aku dan Angga harus berpisah. Aku pikir, aku tak akan pernah bisa melihatnya lagi, karena kecil kemungkinan untuk dapat kembali ke Indonesia, negaraku tercinta.
            Seusai aku tamat kuliah nanti, kedua orang tuaku memutuskan untuk pindah ke Kairo bersamaku. Tak kusangka, mereka benar-benar ingin aku melupakan pemilik nama Airlangga Niagarawan.
            Tapi, sekeras apapun aku mencoba, sekeras apapun aku berusaha, pada akhirnya aku sudah tau, jika aku tak akan pernah bisa melupakan perasaanku padanya. Terlalu sulit buatku untuk melupakan laki-laki itu.
            “Naya, ayo berangkat ke bandara sekarang! Papa sudah nunggu di depan rumah tuh.”, ujar Mama sambil membuayarkan lamunanku.
            Segera kurapikan kamarku sejenak, kemudian kuucapkan salam perpisahan kepada kamarku dan seluruh isi rumah ini.
            TIN! TIN!
            Klakson mobil Papa telah memanggilku untuk segera keluar rumah. Kutarik koper merah mudaku menuju bagasi mobil Papa yang sudah siap untuk mengantarkan anak kesayangannya ini pergi menuntut ilmu ke tempat yang jauh.
            WUSH!
            Mobil Papa melaju dengan cepat di tengah jalanan Kaliurang yang mulai terlihat padat pagi ini. Seketika, pikiranku terfokus pada sebuah nama; Airlangga. Apakah dia ikut mengantarku ke bandara? Atau mungkin dia hanya mengirim kata perpisahan berupa pesan singkat saja?
            Kulirik ponsel yang berada di dalam genggamanku.
Tidak ada. Tidak ada pesan darinya. Tidak mungkin jika dia tidak memberiku salam perpisahan hari ini. Karena hari ini adalah hari terakhir kami bertemu. Dimana sebenarnya dia? Apakah dia sudah sampai dulan di bandara? Entahlah.
***
“Para penumpang pesawat Mesindo Airline QZ-253 dengan tujuan Kairo, mohon segera ke gerbang 05, pesawat akan segera berangkat! Sekali lagi, para penumpang pesawat Mesindo Airline QZ-253 dengan tujuan Kairo, mohon segera ke gerbang 05, pesawat akan segera berangkat!”
           Kupantau terus jam tangan coklat muda di pergelangan kiriku. Saat ini, jam menunjukkan pukul 11.00. Tapi, Angga tak kunjung datang untuk mengantar kepergianku.
            “Naya, ayo ke gate 5! Pesawat kamu sudah mau terbang tuh!”, ujar Mama sambil menggandeng tanganku.
            “Tapi, Ang....”
            “NAYAA!”
            Tiba-tiba, ada sebuah suara keras yang memanggil namaku dari belakang. Suara yang sangat kukenal dan suara yang sangat kuharapkan kehadirannya.
            “Angga?”, ucapku sambil menoleh ke belakang. Rupanya, kini Angga telah berada tepat di belakangku.

ANGGA POV
            HOSH! HOSH! HOSH!
            Kuatur nafas sebentar sebelum mengatakan ‘pidato perpisahan’ yang telah kupikirkan semalaman.
            “Na....”
            “Naya, ayo cepat, pesawat sudah akan berangkat ini!”, belum sempat aku mengatakan sesuatu, Papa Naya yang nampak tidak senang dengan kehadiranku langsung menyauti Naya. Tanpa basa-basi lagi, aku langsung mengatakan 1001 kata-kata yang telah kupikirkan semalaman.
            “Naya, aku sayang kamu. Aku harap kamu tau bahwa perpisahan bukan akhir dari segalanya. Jika memang nama kita ditulis untuk menjalani hidup bersama-sama, maka sejauh apapun jarak dan ruang yang membentang diantara kita, pasti kita akan bertemu kembali. Walaupun hal itu sangat mustahil, tapi aku selalu percaya akan hal itu.”
            Dia menangis terharu.
            Kuserahkan bahuku untuknya menumpahkan air mata. Siang ini begitu mengharukan. Tangis perpisahan mengalir diantara pipinya.
Melihat hal ini, siapa tau Tuhanku dan Tuhannya sama-sama menghapus air mata di atas sana. Tuhan memang satu, kita yang tak sama.
            “Ambil dan bawa ini bersamamu!”
            Kutarik tangannya yang sedingin es itu, kemudian kuberikan sebuah kotak kecil berwarna hijau toska favoritnya. Kotak kecil itulah alasan mengapa aku telat datang kemari.
            Sebelum berangkat menuju bandara, kusempatkan diri untuk membeli sebuah kenang-kenangan yang akan mengingatkannya selalu padaku. Sebuah kalung emas putih yang terukir huruf A ditengahnya. Anaya dan Airlangga.
            “Terima kasih atas segala kebahagiaan yang pernah aku rasakan ketika bersamamu, Airlangga Niagarawan. Selamat tinggal!”
            Kami berdua sama-sama tersenyum. Yah, walaupun kami tau, ada sejuta perasaan tak rela satu sama lain.
            Dia melangkahkan kakinya menuju gerbang 05, tempat dimana sebuah pesawat besar menunggu untuk mengantarkannya menuju ke Kairo.

TAMAT

Sabtu, 25 April 2015

Antara Aku, Kau, dan Tuhan (Bagian pertama)


Antara Aku, Kau, dan Tuhan
Oleh : Baiq Ayu

Terkadang Tuhan menguji manusia dengan cinta beda agama dengan satu alasan. Tuhan ingin melihat apakah hamba-Nya lebih mencintai Sang Pencipta atau justru ciptaan-Nya.”
***
NAYA POV
            CEKREK! CEKREK!
            “Lagi motret apa, Nay?”
            Setelah melihat hasil jepretanku, kukalungkan kembali sebuah kamera canon dengan tipe 650D milikku. Aku tersenyum mendengar pertanyaan itu. Jelas-jalas dia sudah tau, tapi masih saja bertanya.
            “Halah, kamu pasti tau kok!”, sahutku sambil nyengir.
            “Langit, langit, dan langit. Kenapa sih kamu suka banget sama langit?”
            Pertanyaan itu juga sering kulontarkan pada diriku. Kenapa aku suka sekali pada langit? Mungkin, karena di atas sana ada Dia. Dia yang selalu melindungiku. Dia yang selalu menjadi tempatku mengadu keluh kesah. Dia Sang Pencipta semesta alam yang Maha Kuasa.
            “Entahlah, Ngga. Aku ngerasa seneng aja.”
            Airlangga Niagarawan adalah sosok yang akhir-akhir ini sering mengisi hari-hariku. Kami adalah pecinta seni fotografi. Setiap akhir pekan, kami selalu menyempatkan diri untuk ‘berpetualang’ mencari objek kamera yang pas untuk dipotret.
Akhir pekan kali ini, kami berdua mengunjungi Pantai Indrayanti yang tepatnya berada di desa Tepus, Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta. Pantai yang terdiri dari hamparan pasir putih serta batuan karang yang terbentuk melalui proses sampai ribuan tahun ini membuat kami merasa sepeti ada di salah satu surganya Indonesia.
            Kulirik jam tangan coklat muda yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Sekarang sudah jam 1 siang, saatnya untuk melaksanakan kewajiban bagi setiap umat Islam; Shalat Dzuhur.
            “Ngga, aku ke Mushalla dulu ya, mau shalat. 10 menit lagi aku kembali, oke?”
            Dia hanya tersenyum tipis tanpa mengeluarkan sepatah kata “Iya” atau “Oke”.
            Ketika aku masuk ke dalam Mushalla, aku merasakan ribuan hembusan nafas malaikat di atas kepalaku.
            Seringkali, aku berpikir, kapan aku bisa berada disini bersama dengan dia? Melangkahkan kaki bersama-sama menuju Masjid? Shalat dengan diimami olehnya? Berdoa menyebut nama Tuhan yang sama? Membaca Al Quran bersama? Kapan?
            Mengapa Engkau menciptakan perbedaan?
            Mengapa Engkau mempertemukan kita bila pada akhirnya agamalah yang memisahkan?
            Aku tidak mengeluh kepada-Mu, tetapi aku bertanya. Cinta. Haruskah memandang perbedaan agama?

ANGGA POV
Anaya Merista. Nama itu tidak akan pernah berubah menjadi Anaya Merista Niagarawan. Tidak akan.
Mengapa?
Karena itu tidak mungkin terjadi. Kami berbeda. Jelas-sangat-amat berbeda.  Dia tidak ditakdirkan untukku, begitu pula sebaliknya, aku tidak ditakdirkan untuknya.
Kami tau, kami hanyalah dua orang insan manusia yang saling menyebut nama satu sama lain ketika berdoa. Kami tau hanya sebatas itu.
Kadang kala aku bertanya, mengapa Dia mempertemukan kami, jika pada akhirnya kami tak bisa dipersatukan oleh sebuah ikatan keindahan-Nya? Mengapa?
       Aku tidak akan pernah bisa mengimaminya shalat di Masjid. Dan dia tidak akan pernah bisa menemaniku berdoa di Gereja.
            10 menit kemudian telah berlalu. Naya datang sambil membawa 2 kaleng minuman.
            “Tadi aku beli ini di toko depan Mushalla. Kamu suka rasa apel kan, Ngga?”
            “Iya. Karena kamu udah beli ini, nanti gantian aku deh yang beli makanan.”
            Dia tertawa.
Yah, walaupun hanya sebentar dan tidak terlalu ‘ngakak’ tapi itu sudah cukup membuatku senang. Jarang-jarang dia bisa tertawa ketika bersamaku. Karena sulit sekali membuat orang satu ini tertawa.
“Nay, pulang yuk, keburu sore!”
“Makan duluu!”, katanya sambil menunjukkan ekspresi ‘memelas’ yang sengaja dibuat-buat.
“Iyeee.”
            Setelah berjalan beberapa menit, sampailah kami di sebuah Resto & Cafe yang terletak di sekitar sini.
            “Mau makan apa? Aku yang traktir deh.”
            “Horee, ditraktir Angga!”, ucapnya sambil tersenyum lebar.
            Dia begitu kekanak-kanakan. Tapi justru itu yang membuatku menyayanginya. Sikapnya yang seperti anak kecil membuatku ingin selalu melindunginya. Yah, walapun aku tau jika dia memiliki Tuhan yang selalu menjaganya setiap waktu, tapi aku juga ingin menjaga Naya seperti-Nya.
            Makanan telah tiba di meja kami. Dua porsi fried calamari lengkap dengan nasi, sambal dan lalapan serta 2 gelas lemon tea menghiasi meja makan kami yang sedari tadi kosong.
Sebenarnya aku paling benci saat-saat seperti ini, bukan kerana makanannya yang tidak lezat, bukan karena Naya yang selalu memainkan ponsel ketika sedang makan, tetapi karena hal yang kami lakukan sebelum makan; berdoa.
            Yah, cara kami berdoa berbeda. Dia menadahkan tangan ke atas, sedangkan aku tidak. Caraku berbeda dengan caranya. Kami menyebut nama Tuhan yang berbeda. Kami diberikan nikmat dan rezeki oleh Tuhan yang berbeda. Semuanya berbeda.
            Allahumma baarik lanaa fiima razaqtanaa waqinaa adzaa ban-naar. Amiin.”
            Aku memperhatikan caranya berdoa. Setiap kata yang terucap dari bibirnya merupakan kalimat yang asing bagiku.
            “Ngapain sih, Ngga, liatin aku kayak gitu?”
            “Kapan ya kita bisa berdoa dalam satu meja sambil menyebut nama Tuhan yang sama?”
            Bodoh! Bagaimana bisa aku bertanya pertanyan tak logis seperti itu pada Naya?
            Aku tau, dia agak sedikit kaget. Tapi dia tetap membalas pertanyaanku walau hanya dengan sebuah senyuman sederhana.

BERSAMBUNG