Maaf,
Maaf, dan Maaf
(Lanjutan
“Tantangan 240 Jam”)
By : Baiq
Ayu
Aku
membuka mataku.
Sinar
matahari pagi yang menerobos masuk ke jendela kamar sepertinya ingin membangunkanku
dari mimpi.
Ah,
lagi-lagi aku memimpikannya. Memimimpikan seseorang yang kutunggu-tunggu sejak
lama. Memimpikan seseorang yang entah menerima permintaan maafku atau tidak
pada kala itu. Memimpikan seseorang yang namanya masih memiliki ruang
tersendiri di sudut hatiku. Memimpikan seseorang yang sudah 5 tahun tidak
kutemui semenjak lulus SMA.
Muhammad
Revan Al Fath.
Cinta
pertamaku yang bisa dibilang begitu menyakitkan.
Sosok
itu masih belum bisa kulupakan. Sosok yang begitu terbekas di dalam ingatanku.
Dan sosok yang masih aku cintai sama seperti 5 tahun yang lalu.
***
“Bella sayang, bangun, nak! Hari ini
kamu ada kuliah pagikan?”, teriak mama dari ruang makan yang sepertinya sedang
menyiapkan sarapan.
“Iya, ini udah bangun, ma.”
Semenjak kejadian 5 tahun yang lalu
itu, aku telah berubah. Berubah menjadi perempuan yang sopan, anggun, dan lemah
lembut.
Aku pikir jika aku berubah menjadi
perempuan yang lebih baik, aku akan membuat Revan kembali padaku. Tapi ternyata
semuanya sama saja. Dia tetap pada keputusannya; tidak mempedulikanku.
Saat ini, aku adalah seorang mahasiswi
jurusan administrasi negara di Universitas Indonesia, Jakarta.
Ya. Aku sudah kembali ke rumah lamaku
di Jakarta. Sedangkan, sekarang Jessie masih meneruskan kuliahnya. Tetapi dia
tidak meneruskannya di Universitas Airlangga, melainkan di University of
California. Jessie memang perempuan yang hebat. Aku bangga bisa menjadi
adiknya.
Seketika aku berpikir tentang Revan
lagi. Ah, Revan! Kenapa dia selalu muncul di benakku? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Entahlah,
aku tidak bisa menjelaskannya.
Aku mendengar dari teman-teman, bahwa
Revan sekarang melanjutkan studi di sekolah penerbangan, yaitu di Bali
International Flight Academy (BIFA). Aku tidak menyangka, dia begitu
mengagumkan.
***
Di
perempatan Jalan Jend. Sudirman, lagi-lagi aku melirik jam tangan bermerk Omega
di pergelangan tanganku. Jam sudah menunjukkan pukul 19.30 WIB, tetapi bis Transjakarta
masih belum lewat juga.
KRING
KRING KRING...
“Halo,
ma?”
“Bella,
kamu bener-bener gak papa kalo harus naik bis Transjakarta? Atau perlu mama
pesenin taksi? Maaf ya sayang, mama hari ini lembur di kantor, jadi mama gak
bisa jemput Bella.”
“Iya,
ma, gak papa kok, aku naik Transjakarta aja.”
“Ya
udah, Bella, hati-hati di jalan ya.”
“Iya,
ma.”
Akhirnya,
kendaraan yang telah kutunggu-tunggu ini datang juga. Penumpang yang juga telah
menunggu dari tadi-pun langsung masuk berdesak-desakkan di pintu bis.
BRUKK..
Aku
jatuh karena terdorong oleh tante gendut yang memakai blus warna merah. Sikutku
tergores oleh aspal di jalan itu.
“Eh,
lo gak papa?”
Tiba-tiba,
terdengar suara seorang laki-laki yang sepertinya sedang berbicara denganku.
Dengan spontan, aku langsung menoleh ke sumber suara itu.
“Iya,
aku gak papa.”, balasku sambil membersihkan butiran pasir di jalan beraspal
itu.
Sepasang
mata yang sama seperti yang pernah aku lihat 5 tahun yang lalu. Suara yang sama
seperti yang pernah aku dengar 5 tahun yang lalu. Dan aroma parfum yang sama
seperti yang pernah aku hirup 5 tahun yang lalu.
Revan?
Apakah laki-laki itu adalah benar-benar Revan? Ah, tidak mungkin! Bukankah saat
ini dia sedang berada di Bali? Tapi.......
Bersambung