Kamis, 26 Februari 2015

Maaf, Maaf, dan Maaf


Maaf, Maaf, dan Maaf
(Lanjutan “Tantangan 240 Jam”)
By : Baiq Ayu
           
            Aku membuka mataku.
            Sinar matahari pagi yang menerobos masuk ke jendela kamar sepertinya ingin membangunkanku dari mimpi.
            Ah, lagi-lagi aku memimpikannya. Memimimpikan seseorang yang kutunggu-tunggu sejak lama. Memimpikan seseorang yang entah menerima permintaan maafku atau tidak pada kala itu. Memimpikan seseorang yang namanya masih memiliki ruang tersendiri di sudut hatiku. Memimpikan seseorang yang sudah 5 tahun tidak kutemui semenjak lulus SMA.
            Muhammad Revan Al Fath.
            Cinta pertamaku yang bisa dibilang begitu menyakitkan.
            Sosok itu masih belum bisa kulupakan. Sosok yang begitu terbekas di dalam ingatanku. Dan sosok yang masih aku cintai sama seperti 5 tahun yang lalu.
***
“Bella sayang, bangun, nak! Hari ini kamu ada kuliah pagikan?”, teriak mama dari ruang makan yang sepertinya sedang menyiapkan sarapan.
“Iya, ini udah bangun, ma.”
Semenjak kejadian 5 tahun yang lalu itu, aku telah berubah. Berubah menjadi perempuan yang sopan, anggun, dan lemah lembut.
Aku pikir jika aku berubah menjadi perempuan yang lebih baik, aku akan membuat Revan kembali padaku. Tapi ternyata semuanya sama saja. Dia tetap pada keputusannya; tidak mempedulikanku.
Saat ini, aku adalah seorang mahasiswi jurusan administrasi negara di Universitas Indonesia, Jakarta.
Ya. Aku sudah kembali ke rumah lamaku di Jakarta. Sedangkan, sekarang Jessie masih meneruskan kuliahnya. Tetapi dia tidak meneruskannya di Universitas Airlangga, melainkan di University of California. Jessie memang perempuan yang hebat. Aku bangga bisa menjadi adiknya.
Seketika aku berpikir tentang Revan lagi. Ah, Revan! Kenapa dia selalu muncul di benakku? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Entahlah, aku tidak bisa menjelaskannya.
Aku mendengar dari teman-teman, bahwa Revan sekarang melanjutkan studi di sekolah penerbangan, yaitu di Bali International Flight Academy (BIFA). Aku tidak menyangka, dia begitu mengagumkan.
***
            Di perempatan Jalan Jend. Sudirman, lagi-lagi aku melirik jam tangan bermerk Omega di pergelangan tanganku. Jam sudah menunjukkan pukul 19.30 WIB, tetapi bis Transjakarta masih belum lewat juga.
            KRING KRING KRING...
            “Halo, ma?”
            “Bella, kamu bener-bener gak papa kalo harus naik bis Transjakarta? Atau perlu mama pesenin taksi? Maaf ya sayang, mama hari ini lembur di kantor, jadi mama gak bisa jemput Bella.”
            “Iya, ma, gak papa kok, aku naik Transjakarta aja.”
            “Ya udah, Bella, hati-hati di jalan ya.”
            “Iya, ma.”
            Akhirnya, kendaraan yang telah kutunggu-tunggu ini datang juga. Penumpang yang juga telah menunggu dari tadi-pun langsung masuk berdesak-desakkan di pintu bis.
            BRUKK..
            Aku jatuh karena terdorong oleh tante gendut yang memakai blus warna merah. Sikutku tergores oleh aspal di jalan itu.
            “Eh, lo gak papa?”
            Tiba-tiba, terdengar suara seorang laki-laki yang sepertinya sedang berbicara denganku. Dengan spontan, aku langsung menoleh ke sumber suara itu.
            “Iya, aku gak papa.”, balasku sambil membersihkan butiran pasir di jalan beraspal itu.
            Sepasang mata yang sama seperti yang pernah aku lihat 5 tahun yang lalu. Suara yang sama seperti yang pernah aku dengar 5 tahun yang lalu. Dan aroma parfum yang sama seperti yang pernah aku hirup 5 tahun yang lalu.
            Revan? Apakah laki-laki itu adalah benar-benar Revan? Ah, tidak mungkin! Bukankah saat ini dia sedang berada di Bali? Tapi.......

Bersambung

Tantangan 240 Jam (Bagian Terakhir)


“Pacar lo, Re?”
“Iya, Bel.”
“Serius? Pacar lo?”
“Iya, Bel.”
“Yang bener?”
“Ah lo itu, dari tadi tanya itu mulu! Mau gak lo?”
“Iya. Gue mau, Re. Gue mau jadi pacar lo!”
Dan pada hari keenam semenjak gue taruhan sama Ova, gue akhirnya berhasil buat Revan jadian sama gue. Ah senangnya! Gue bakalan dapet iPhone 6 lagi deh. Hahaha.
Dan tinggal 4 hari lagi, waktu gue buat pacaran sama si Revan. Tapi, ketika gue mikir tentang taruhan itu, kok gue jadi gak enak hati gitu sih? Kayaknya gue itu orang jahat gitu yang suka mainin perasaan orang. Ah biarin deh!
***
            “Eh Bel, gue denger dari temen-temen, katanya lo itu sudah jadiannya sama si murid baru ya?”, kata Ova sewaktu dia baru saja tiba di kelas jam 06.45 pagi.
            Gue hanya menganggukkan kepala, karena saat ini gue sedang membaca buku pelajaran Biologi. Entah sejak kapan gue berubah seperti ini. Mungkin sejak gue kenal Revan.
Padahal Revan itu kelakuannya sama seperti gue; suka bolos sekolah, suka ke club malem-malem, dll, tapi anehnya, Revan itu suka membaca semua jenis buku. Dari mulai buku pelajaran, komik, novel, buku biografi, buku ilmu pengetahuan populer, dan masih banyak lagi.
            “Wah, bentar lagi iPhone gue melayang nih, karena lo bakalan menangin taruhan kita!”, komentar Ova kepada gue dengan tatapan yang sengaja dibuat sinis.
            “Kan gue sudah bilang sama lo, kalo gue pasti menang taruhan. Lihat aja tuh, si anak baru udah klepek-klepek sama gue. HAHAHA!!”
            “Iya deh iya. Eh bentar ya, gue mau ke Cafe dulu, haus nih.”, kata Ova sambil berjalan keluar kelas.
            “Revan?! Sejak kapan lo ada disitu?!”. Tiba-tiba Ova berteriak sambil menyebut nama Revan.
            “Revan?”, kata gue sambil membalikkan badan. Ternyata benar, itu Revan.
            “Re, sorry, gue.....gu-gue.......”
            Revan hanya menyimpulkan senyum di sudut bibirnya. Senyum kekecewaan.
            “Gue sama sekali gak nyangka. Ternyata semua ini cuma kepura-puraan lo buat menangin taruhan, Bel?”, ucap Revan yang lagi-lagi tersenyum dengan senyum yang sama. Senyum kekecewaan.
            “Oke! Emang gue akuin kalo ini semua ini cuma drama gue buat menangin taruhan, tapi setelah berhari-hari gue kenal dan deket sama lo. Gue.....gue....sadar kalo gue bener-bener sayang sama lo. Rencananya, gue bakal bilang semua ini pas taruhan itu berakhir, tapi karena lo sudah tau duluan, jadi.........”
            “Cukup! Gue udah gak kuat ngadepin semua drama-drama busuk lo! Gue gak akan pernah peduli lagi sama lo!! Dan jangan pernah bicara lagi sama gue! Jangan pernah! Gue udah muak!!”, katanya sambil berjalan tanpa menghiraukan gue.
            Selintas, gue melihat setetes air mata yang tertahan di sudut mata yang menyejukkan hati itu. Baru pertama kali gue melihat di depan mata gue sendiri seorang cowok hampir menangis karena gue. Karena gue! Karena gue yang terlalu bodoh.
            “Re, gue minta maaf, Re!!! REVAN!!!”
            Perasaan gue sakit ketika dia pergi meninggalkan gue. Perasaan gue sakit ketika dia gak mau nerima permintaan maaf gue. Perasaan gue sakit ketika orang yang gue sayangin ternyata sudah gak mau peduli lagi sama gue.
            Gue tau kalo gue bodoh. Bodoh karena gue mau nerima tantangan konyol itu. Bodoh karena gue gak bisa liat perasaan lo yang bener-bener sayang sama gue. Bodoh karena gue juga sayang sama lo.
            Ya. Gue nangis. Gue nangis sejadi-jadinya. Gue nangis dengan keras supaya dia bisa denger. Gue nangis dengan keras supaya dia berjalan balik ke arah gue. Gue nangis dengan keras supaya dia luluh dan mau maafin gue.
Tapi ternyata semua tangisan itu percuma. Gue udah liat punggungnya pergi dari pandangan gue. Tiba-tiba mata gue berkunang-kunang. Pandangan gue terasa kabur. Pandangan gue seketika gelap. Dan akhirnya, gue jatuh pingsan.
***
            Aroma minyak kayu putih serta suara-suara yang memanggil nama gue telah membangunkan gue dari mimpi buruk itu. Gue harap yang tadi itu cuma mimpi. Ya, mimpi buruk yang mengerikan.
            “Syukurlah, Bel. Lo udah sadar!”, kata Ova sambil mengelus-elus rambut gue dari samping.
            “Gue ngapain disini? Dan lo semua juga ngapain disini?”, kata gue sambil nunjuk temen-temen sekelas gue yang bergerumbul melingkari gue.
            “Tadi lo pingsan gara-gara nangisin.......Re..Revan.”
            “Gara-gara nangisin Revan?”
            Seketika gue teringat kembali kepada kejadian beberapa menit yang lalu. Ternyata itu tadi bukan mimpi. Itu nyata.
***
Tak terasa sudah sebulan semenjak peristiwa itu. Lagi-lagi mata gue berkaca-kaca mengingat kejadian itu. Kejadian yang sangat membuat gue terpukul dan terlebih lagi baginya.
Setelah kejadian itu, Revan tidak pernah berbicara lagi sama gue. Semakin gue mencoba mendekatinya dan meminta maaf kepadanya, dia semakin menjauh dari gue. Bahkan seolah-olah dia gak pernah kenal sama gue.
Gue tau, dia pasti kecewa banget sama gue. Gue tau, gue salah. Gue tau, gue bego. Dan gue tau, ini emang pembalasan yang pantes banget buat gue.
Gue menyesal. Ya. Penyesalan memang selalu berada di belakang. Selalu. Gue yakin kalo suatu saat Revan pasti mau maafin gue dan kembali lagi sama gue. Entah kapan itu terjadi, tapi gue yakin.
Tapi, walaupun Revan sudah gak peduli lagi sama gue, perasaan gue ke Revan gak akan pernah berubah. Gak akan.
TAMAT


Untuk semua pembaca
            Hallo, readers! Gimana ceritanya? Serukah? Menarikkah? Semoga aja begitu yaaa. Nah, aku mau memberitahukan kalo cerita “Tantangan 240 Jam” masih akan berlanjut tetapi dengan judul cerita yang berbeda. Dijamin ceritanya pasti semakin seru deh!
            Penasaran? Tunggu lanjutannya yaa.....
            Terima kasih.

Rabu, 04 Februari 2015

Tantangan 240 Jam (Bagian ketiga)


DUGG..
            “Aduh!”
            Gue terjatuh karena gak liat jalan. Ah! Ini bisa ngerusak ‘image’ gue di depan Revan. Bego banget sih gue, pake acara jatuh segala lagi!
            “Eh, lo gak kenapa napa?”, katanya sambil berusaha mengangkat bahu gue.
            “Iya, gak papa.”, kata gue bohong.
            “Sini, gue lihat kaki lo!”, katanya sambil memastikan kaki gue baik-baik aja.
            “Mau liat sih mau liat, tapi gak usah ditarik juga kali kaki gue!”, kata gue dengan tampang kecut.
            “Tuh lihat, kaki lo memar!”
            “Biarin ah! Ayo kita lari lagi!”
            “Gak! Gila apa lo! Ya udah, kita ke rumah gue aja!”
            “HAH! RUMAH LO?!! NGAPAIN KESANA?!! LO GAK MAU MACEM-MACEMKAN SAMA GUE?!!”
            “Diem aja deh lo! Dasar berisik!”
***
            Di rumahnya Revan, kita bicara panjang lebar. Mulai dari nama masing-masing, hobi, kebiasaan, sampai keluarga. Kita juga sempat tukar-tukaran nomor ponsel.
Kata Revan, dia dipindahin kesini karena ibunya pindah tugas ke Surabaya juga. Ibu Revan sibuk sekali. Beliau berangkat pagi, pulang malem. Tapi masih mending Revan, ibunya tinggal bersamanya. Sedangkan gue? Mama aja gak pernah perhatiin gue. Eh malahan si Jessie yang (sok) perhatian.
            Ternyata, Revan itu asik juga kalo diajak ngobrol, walaupun kadang-kadang cuek juga sih. Tapi sikapnya baik kok kalo sama cewek. Ya perhatian gitu deh. Ah Revan, lo itu..... Eh, gue mikir apa sih!!
            “Memar lo udah gue kompres pake air hangat! Lo duduk aja disini, gue mau buat minuman dulu.”, katanya sambil beranjak pergi meninggalkan gue.
            “Oke, thanks, Re!”, kata gue sambil memamerkan sederet gigi putih gue.
***
            “Re, gue pulang ya, udah sore nih.”
“Gue anter ya?”
            “Gak perlu kali. Emang gue bocah TK pake dianter-anter segala?”
            “Ya udah deh. Hati-hati di jalan!”
***
            Hari demi hari gue lewatin bareng dia. Kita ke kantin bareng, ke perpus bareng, bolos sekolah bareng, ke club malem-malem bareng, belajar bareng, ah pokoknya semuanya serba bareng deh.
            Dan tibalah pada hari keenam.
            “Bel, gue mau tanya sesuatu sama lo.”, katanya sambil menarik tangan gue untuk segera menjauh dari kerumunan orang-orang yang ingin melihat pameran seni sekolah. Dan tibalah gue di taman sekolah. Tempat ini sepi, karena murid-murid banyak yang ke aula untuk lihat pameran itu.
            “Tanya apa, Re?”
            “Gue mau lo tau sesuatu.”
            “Apaan?”
            “Coba inget 3 kata pertama gue tadi.”
           “Lo tadi bilang ‘Gue mau lo tau sesuatu’, berarti 3 kata pertama lo itu ‘Gue mau lo’. HAH?!! LO MAU GUE??! MAKSUD LO?”
            “Gue mau lo jadi pacar gue, Bel.”

Bersambung..