Sabtu, 28 Maret 2015

Bertemu di Langit


Notice!
Cerpen ini banyak menggunakan Bahasa dari daerah Bali. Berikut aku sampaikan artinya jika para pembaca kurang mengerti;
Mbok = mbak
Matangi = bangun
Ene = ini (bahasa madya)
Puniki = ini (bahasa halus)
Beli = pak
Nggih = iya
Matur suksma = terima kasih
Tyang = saya
Jagi lunga kija = mau pergi kemana
Kayun = akan
Suksma mewali = terima kasih kembali

Bertemu di Langit
Oleh : Baiq Ayu

Pertemuan ini begitu singkat dan berjalan terasa cepat..
***
            “Mbok, matangi! Ene sudah sampai di tempat tujuan.”
Suara berat seorang laki-laki membangunkanku dari tidur. Mendengar suara itu, aku langsung sadar bahwa saat ini aku sedang berada di dalam taksi.
“Puniki sampun sampai di Bandara Ngurah Rai, beli?”, kataku sambil menoleh ke kanan kiri.
“Nggih.”, jawab sopir taksi itu sambil mematikan mesin mobilnya.
“Ini uangnya, beli!”
“Matur suksma nggih. Mari tyang bantu mengeluarkan koper!”
Kulangkahkan kakiku keluar dari taksi. Setelan medium-dress berwarna hijau tosca yang dipadukan dengan cardigan dan heels yang sama-sama berwarna cream membuat kulitku bersinar di bawah terik matahari.
“Jagi lunga kija, mbok?”
“pergi ke Australia, beli.”
“Ini kopernya, mbok!”, ucap sopir itu sambil meletakkan koper berwarna merah marun disampingku.
“Matur suksma, beli.”
“Suksma mewali.”
Tiba-tiba KRING KRING KRING...
“Ada apa, Pinkan?”
“Naomi, kamu sudah sampai di Sydney belum?”
“Belum, tapi ini aku sudah di Ngurah Rai kok.”
“Oh ya udah kalau gitu, hati-hati ya, Mi! See you in Sydney!”
“Hmm.”
Liburan kali ini adalah hadiah kelulusan dari orang tua kami karena kami telah lulus dari SMA dengan nilai yang cukup memuaskan. Ini pertama kalinya aku berlibur di Negeri Kangguru. Sedangkan Pinkan? Entah sudah berapa kali dia ke Australia.
Pinkan berangkat lebih dulu karena dia harus mengurus keperluan-keperluan untuk kuliah di Australia. Sedangkan aku, lebih senang kuliah di tempat kelahiranku, Pulau Dewata, Bali.
            KRUCUK..KRUCUK..
            Cacing di perutku mulai berdemo untuk meminta sarapan. Penerbangan sepagi ini membuatku tak sempat sarapan di rumah. Akhirnya setelah check-in dan mengurus koper, kuputuskan untuk membeli beberapa bungkus roti di bakery terdekat.
***
“Para penumpang pesawat Ausindo Airline QW-890 dengan tujuan Sydeny, mohon segera ke gerbang 05, pesawat akan segera berangkat. Sekali lagi, para penumpang pesawat Ausindo Airline QW-890 dengan tujuan Sydney, mohon segera ke gerbang 05, pesawat akan segera berangkat.”
Baru saja mau memilih roti, eh sudah ada pemberitahuan kalau penerbanganku mau take off. Sedetik kemudian, aku langsung berlari menuju Gate 05 tanpa membawa sebungkus roti sama sekali.
DUKK..
“Ahh!”
Tanpa sengaja, ketika aku sedang mencari tempat duduk di pesawat, tiba-tiba aku bertabrakan dengan seorang penumpang lain.
“Are you OK, Miss?”, katanya sambil sedikit membungkukkan badan untuk melihatku.
Ketika pandangan kami bertemu, kami terdiam sejenak. Kemudian, dia mengangkat pundakku agar aku dapat berdiri. Lalu, kami pun sama-sama tertawa.
“Lo Naomi kan? Hahaha! Apa kabar?”
“Hahaha! Malik? Astaga, lama banget gak ketemu.”
“Lo duduk mana?”
“Masih belum tau, ini aja masih nyari.”
“Coba gue liat tiket lo, Mi!”
“Nih!”
“Oh, tempat duduk lo disamping gue, Mi.”
“Beneran, Lik?”
“Ya iyalah, Naomi, buat apa gue bohong?!”
Langsung saja, aku duduk di bangku yang berdekatan dengan jendela pesawat. Setelah Malik meletakkan barang-barangnya di bagasi atas, dia langsung duduk di sebelahku.
“Kamu mau liburan Sydney, Lik?”
“Enggak, gue ke Australia cuma mau ke Queensland doang.”
“Ngapain ke Queensland?”
“Biasa, mau diving sama temen gue.”
“Ohh, mau ke Great Barrier Reef ya?”
“Yoi.”
“Mana temenmu?”
“Dia udah naik penerbangan pertama. Lo sendiri ngapain ke Australia, Mi?”
“Liburan sama temen.”
“Lo nggak mau sekalian ikut diving sama gue ke Great Barrier Reef?”
“Nggak deh, Lik, aku gak bisa diving.”
“Entar gue minta penyu-penyu buat ngajarin lo diving deh. Hahaha!”
KRUCUK..KRUCUK..KRUCUK..
“Wah! Perut siapa tuh yang lagi drum-band?”, katanya melucu.
Aku hanya diam sambil menutupi rasa maluku dengan sedikit menundukkan kepala.
“Nih, gue punya donat rasa almond!”, katanya sambil menyodorkan sebungkus roti bermerk ‘O Doughnut!’ tepat di depan mukaku.
“Buat aku nih?”
“Gak, buat pilotnya...Ya buat lo lah, Naomi Anastasia!”
“OK, thanks ya, Malik El Zain!”
DAG DIG DUG..
Astaga! Kenapa dari tadi jantungku berdebar-debar ketika berbicara dengannya sih? Entahlah, mungkin karena perasaan ini masih ada. Perasaan cinta yang masih terpendam selama masa SMP.
Malik adalah teman SMP. Hmm, bukan teman, tepatnya cowok yang aku taksir semasa aku SMP dulu. Kini sudah 3 tahun berlalu semenjak kita lulus SMP.
Dulu kami akrab sekali. Tapi ketika kami SMA, dia berubah. Dia sudah tidak pernah menghubungiku. Ketika aku mencoba menghubunginya, teleponku selalu tidak dijawab.
Lelah rasanya menunggu untuk dihubungi olehnya. Entah kenapa aku menunggunya. Aku terlihat begitu bodoh karena menunggu sesorang yang bahkan mungkin dia tidak tau kalau ada seseorang yang menuggunya atau mungkin saja dia tidak pernah peduli.
Tapi kini, akhirnya kita bertemu lagi. Bertemu di langit sama.
“Anyway, lo mau kuliah dimana?”
“Ssssttt...”, kataku sambil menunjuk ke depan. Ke arah seorang pramugari yang sedang menginstruksikan cara menyelamatkan diri dari keadaan darurat di pesawat.
“Tadi kamu nanya apa?”, kataku setelah pramugari itu menyelesaikan tugasnya.
“Lo kuliah dimana?”
“Di Universitas Udayana (UNUD), minggu depan mau daftar. Kamu sendiri?”
“Gue mau masuk di BIFA.”
“Wah, keren! Jadi pilot dong?”
“Yoi.”
“Semoga kamu lulus tesnya ya! Aku denger kalau mau masuk situ, tesnya sulit.”
“Amin. Semoga aja!”
Kami berbincang-bincang cukup lama, tapi belum ada dari kami yang mengucapkan kata “rindu” atau “kangen”. Bukan ‘belum ada’, tetapi mungkin ‘tidak ada’. Dia mengatakan bahwa dia merindukanku? Ah, hal itu sangatlah mustahil. Ibaratnya, bagaikan Albert Einsten yang hidup kembali. T-I-D-A-K   M-U-N-G-K-I-N !
Kenapa bukan aku yang mengucapkan kata itu? Kalian pasti sudah tau jawabannya. A-K-U  T-I-D-A-K   B-E-R-A-N-I !
***
“Para penumpang yang terhormat, mohon kencangkan sabuk pengaman anda, kita akan segera sampai di Sydney International Airport, dengan perbedaan waktu 4 jam. Dan terima kasih telah memilih penerbangan kami! Semoga perjalanan anda menyenangkan!”
“Ahh! Akhirnya nyampe juga disini! Gue udah gak sabar!”, katanya sambil ‘mulet’ di sebelahku.
“Gak sabar apa, Lik?”
“Ketemu sama temen gue-lah.”
Dari tadi di pesawat, aku terus memperhatikannya. Dari caranya melontarkan lelucon aneh, dari caranya berbicara kepadaku, dan dari caranya tidur sambil mendengarkan musik di iPod. Entah genre musik apa yang membuat dia tidur lelap, di sampingku.
Akhirnya, sampailah aku di Bandara Sydney. Tanpa berpikir panjang, aku segera mengeluarkan ponsel dari dalam tas kecil berwarna merah muda milikku.
“Halo, Pinkan?”
“Iya, Naomi? Kamu udah sampai disini?”
“Iya, udah. Ini baru selesai ngambil koper.”
“OK. Tunggu aku disitu ya! Bye, Naomi!”
“Hmm.”
Ahh!! Menunggu (lagi)? Hidupku memang tidak jauh dari aktivitas ‘tunggu-menuggu’.
“NAOMI!!”
Teriak seseorang yang hampir membuat jantungku keluar. Tenyata, seseorang itu adalah Malik. Tapi, tunggu dulu! Apa itu? Apakah aku tidak salah lihat? Malik sedang bersama seorang perempuan berambut pendek sebahu dengan baju terusan pendek berwarna coklat muda! Siapa perempuan itu?
Aku terus melihat mereka berdua berjalan ke arahku. Berjalan sambil bergandengan tangan tepatnya.
“Naomi, kenalin, ini temen yang gue maksud pas di pesawat tadi! Maksud gue, temen hidup. Hehe”
Hah! Apa katanya?! Jangan bilang kalau perempuan itu adalah......
“Hai, Naomi! Aku Zahira. Kata Malik, kamu temen SMP-nya dulu ya?”, kata perempuan itu dengan senyum tulus.
“Hai , Zahira! Iya, aku temen SMP-nya dulu.”
“Dia pacar gue.”, sahut Malik tiba-tiba sambil merangkul perempuan itu, seakan-akan, dia ingin mempertontonkan kemesraan mereka di depanku.
DUARRRR..
Aku bagaikan tertembak oleh sebuah peluru besar tepat di jantungku. Sangat sulit untuk dipercaya. Rasanya, aku tidak dapat berkata-kata lagi. Menangis pun rasanya tak cukup untuk mengungkapkan bagaimana sakitnya hati ini.
Setelah ini, aku harus berkata apa padanya? Berkata ‘Aku seneng liat kamu sama dia!’? IYA??
Munafik rasanya jika aku mengatakan bahwa aku senang melihatnya bersama perempuan lain. Aku hanya senang jika dia ada bersamaku, bukan bersama perempuan lain.
 “ Eh, Naomi, lo kok malah ngelamun sih?”
“Ah, enggak kok! Ya udah ya, aku mau ke depan dulu, kayaknya temenku sudah nunggu disana! Bye!”, ucapku sambil tersenyum seraya melambaikan tangan kepada mereka berdua. Ada arti dibalik senyuman itu. Kalian pasti tau, senyum apakah itu. Benar, bukan?
Aku tau, aku sadar, dan aku juga paham, hal yang paling tepat yang harus dilakukan saat ini adalah mengikhlaskan dan membiarkannya bahagia dengan perempuan yang telah dia pilih.
Aku hanya bisa berdoa dalam hati untuk kebahagiannya. Hanya itu yang dapat aku lakukan.
Terima kasih sekali atas pelajaran yang telah diberikan padaku. Yaitu pelajaran yang mengajarkanku untuk tidak menanti seseorang yang tidak pasti dan pada akhirnya penantian itu pasti akan berujung pada kekecewaan dan air mata.
TAMAT

Jumat, 27 Maret 2015

Untukmu


This short story is written by a girl who always cries because her problem and she is the most brittle girl I've ever met
 
Untukmu
By : Adelia

Ia terlihat tampan dengan seragam rapinya. Aku yang tak sengaja melihatnya, langsung tertarik dengan senyumnya yang manis. Aku terdiam beberapa saat memandangnya.
Dia berbeda.
Dia terlihat dingin tapi mempunyai karisma sendiri. Belakangan aku mencari tau tentang sosoknya. Sosok yang membuat aku menjadi betah di kelas baruku ini.
Dia mempunyai nama yang sederhana ‘Rizal Budi Susanto’
Nama itu belakangan memenuhi otakku. Membuat aku lebih penasaran dengan sifat yang ada di balik namanya. Dia terlihat diam, tapi entah kenapa seperti ada sesuatu yang ingin aku tau dari dia. Dia mencuri waktuku beberapa hari ini.
“ngeliatin dia lagi?!” Anissa meletakkan pensil dan menoleh kearahku. “hehe iya. Abis tuh anak bikin penasaran banget. Taukan dari awal aku kagum banget lihat dia. Bias deket nggak ya sama dia?” tanyaku yang langsung membuat Anissa tertawa “kok malah ketawa sih? Dasar!” sahutku dengan sedikit marah.“ ya lagian kamu. Menurutku tuh cowok nggak ganteng-ganteng banget, apanya yang bikin penasaran? Gini deh kenapa nggak coba minta pin atau nomernya :D” komentar Anissa.
***
Beberapa hari mikirin soal kata-kata Anissa membuatku capek sendiri belum lagi kabar kalau ternyata dia sudah punya pacar. Ya akhirnya aku coba berhenti mikirin dia. Tapi hasilnya nihil, semakin aku berusahajustru rasa ini semakin dalam untuknya. Pandanganku pun nggak pernah lepas dari sosoknya. Entah kenapa semakin hari dia terlihat lebih ganteng.
***
“eh buset tuh mata berhenti kenapa lihatin Budinya, dia udah ada yang punya Adel” kata Anissa yang mebuatku langsung tersentak “aduh apa seh Nis? Cuci mata pagi-pagi gini halal lagi hehe” balasku “kenapa nggak tertarik sama Sena aja Del? Kenapa sama Budi?” komentarnya lagi yang membuatku makin kesal “gini ya Anissa, dari awal aku masuk kelas ini mataku tuh langsung lihat ke dia, dia kelihatan cakep banget di kursi belakangnya, ahhh” jawabku dengan muka berseri-seri. Anissa pun hanya mengangguk-ngangguk dengan muka sok mengertinya.
Hari-hari berikutnya seperti biasa aku hanya menatapnya tanpa pernah ada keberanian untuk memulai pembicaraan dengannya, sampai tiba-tiba……
“Adellll, aku punya pinnya Budi loh, mau?” bisik Anissa dengan nada yang menggoda “eh serius? Mau mau. Btw dapet dari mana Nis?” tanyaku dengan girang “dariiiii… ya adalah hahaha.Tuh lihat aja di hpkuJ
***
Sehari, dua hari, tiga hari aku hanya bisa memandang kontak itu dengan ragu. Ya, setiap ada keinginan untuk memulai percakapan dengannya aku selalu mengurunkan niatku. Aku malu, aku gengsi, aku bingung harus mulai dari mana. Kegelisahanku ini ternyata terbaca oleh Anissa dan akhirnya membuat gadis itu penasaran.
“kenapa sih Del? Nggak dibales sama Budi? Hahaha” tanyanya “mulai aja belum, aku bingung mau bahas apa sama dia, lagian ngomong sama Rizal aja aku belum pernah L” jawabku dengan murung “ehm.. gini deh, bentar lagikan Nadila ulang tahun tuh, nah kita kerjain aja dia...” “terus hubungannya sama Rizal apa?” selaku langsung “tunggu dulu Del, kita minta tolong aja sama dia…” “minta tolong gimana seh Nis?” selaku lagi dengan sedikit marah “aduh Adel dengerin dulu kenapa!!” jawabnya dengan jengkel “jadi gini, rumahnya Budikan deket-deket rumah Nadila, nah kita bias kerjain Nadila dengan muter-muterin dia di daerah sana, dengan cara kamu bilang aja lagi kerja kelompok sama Budi terus habis gitu kamu bias gunain ini buat alas an biar kamu bisa chat sama Budi. Gitu,jelas Adelia?” jelas Anissa panjang lebar “oh oke aku paham haha, makasih Nis”
***
Malam ini, aku memikirkan kata-kata Anissa “kayaknya bias dicoba deh, Bismillah aja kali ya, siapa tau dia bales” gumamku sendiri dengan gelisah. Akhirnya dengan kepercayaan diri yang nggak sepenuhnya, aku coba buat BBM Rizal.
Adelia Desti Pratiwi
ü  PING!!!
ü  Rizal?

Satu menit, dua menit, tiga menit, bahkan sampai sepuluh menit lebih BBMku nggak dibales. Aku mulai gelisah dan takut hasilnya bakalan nihil dan ujung-ujungnya aku yang bakal malu besok “Arghhh kenapa aku nurutin kata-kata Anissa, aduh malu bangettttt” omelku tak jelas. Sampai akhirnya hpku bergetar dan aku langsung menyambarnya.

Rizal Budi
ü  Apa del?

Iya, itu BBM dari dia, itu dari Rizal. Aku pun langsung membalasnya dengan bahasa yang kuatur sebaik mungkin.

Adelia Desti Pratiwi
ü  Ganggu nggak? Aku mau minta tolong nihJ

Rizal Budi
ü  Nggaklah, apasih :D
ü  Minta tolong apa btw?

Adelia Desti Pratiwi
ü  Ehm..gini, dua hari lagi temenku kan ada
Yang ulang tahun, nah aku mau minta tolong
Ntar  kita pura-pura aja kerja kelompok di
rumahmu, entar kamu kasih alamat yang salah.

Rizal Budi
ü  Sek bentar. Kasih alamat salah?
Jadi ceritanya ntar aku muter2in
Kalian gitu?

Adelia Desti Pratiwi
ü  Iya, jadi ntar selama itu juga kita
BBMan. Bisa?

Rizal Budi
ü  Oke sip :D

Adelia Desti Pratiwi
ü  Haha makasih yaJ

Rizal Budi
ü  Iya sama2

***

Paginya, dengan perasaan seneng banget aku berjalan ke kelas. Akupun sampai senyum-senyum sendiri karena terlalu senangnya “Pagi Del, seneng banget kayaknya” goda Anissa “iyaaaa, kamu tau nggak? Kemarin aku BBMan sama Rizal, ahhhh. Seneng Nis, serius” ceritaku  dengan girang banget “cieee, sukses deh kalau gitu”

Setelah chat singkat malam itu, aku jadi sering chat sama dia, kebanyakan bahas pelajaran sih, tapi kadang juga bahas sesuatu yang nggak jelas. Ya intinya aku jadi dekat dengan dia :D

***
Dua hari setelah itu…

“Adel ntar jadi?” Tanya Rizal yang membuatku kaget sekaligus senang –oh God mimpi apa aku semalam? Dia ngomong sama aku. Aaaa- jeritku dalam hati “Adel?” tanyanya lagi yang membuatku tersadar “oh iya? Eh apa?” tanyaku seperti orang bodoh “haha, kenapa sih Del? Aku tanya, nantijadi?” tanyanya lagi “oh jadi kok, nanti aku BBM dulu yaJ” balasku dengan ekspresi yang kubuat sesantai mungkin “oh oke, aku keluar dulu kalau gitu yaJ” “iya sip J

-Ya Tuhan senyumnya, ganteng banget- pikirku dalam hati, mengikuti kepergiannya.

***

Beberapa hari setelah hari itu aku udah nggak punya keberanian buat BBM dia lagi. Aku kehilangan sosoknya. Aku mulai kepikiran dengan sifatnya, bahkan di kelaspun dia udah terlihat dingin lagi.
Entah kenapa aku benar-benar sedih dengan keadaan ini. Usahaku seperti hilang gitu aja, sifatnya yang tiba-tiba berubah membuat aku sangat menyesal karena berhenti menghubunginya, aku terlalu takut untuk memulai. Dan pada akhirnya dia memang nggak berniat dekat denganku lagi. Mungkin dia sudah benar-benar bahagia dengan pacarnya. Ya, ini salahku juga, menyukai bahkan menyayangi seseorang yang sudah menjadi milik orang lain.

Keadaan ini akhirnya membuat aku sadar ‘sayang itu nggak pamrih, kalau aku beneran sayang sama dia, aku bakal ngebiarin dia bahagia dengan pilihannya, meskipun itu sebuah kemunafikan dari diriku’

Ah sudahlah, kamu terlalu susah untuk aku raih, Zal!!

TAMAT