NAYA POV
“Assalammualaikum.”,
ucapku sambil melangkahkan kaki ke dalam rumah tercinta.
Aku
melihat kedua orang tuaku sedang bersantai di depan sebuah televisi berukuran
32” sambil membaca beberapa bacaan ringan seperti majalah dan koran.
“Wa’alaikumsalam.
Naya kok pulangnya malem begini?”
“Iya, Pa. Tadi agak macet soalnya.”
“Sudah
Shalat Isya?”
“Belum,
Ma.”
“Kenapa
belum Shalat? Jangan-jangan kamu diajarin sama pacar kamu itu buat nggak Shalat
ya!? Apa sih yang kamu harapkan dari dia? Cinta dan kasih sayang? Omong
kosong!”, sahut Papa dengan sedikit membentak.
“Apaan
sih, Pa! Angga itu nggak seperti yang Papa pikirin! Dia baik!”
“Kalau
dibilangin sama orang tua itu nggak usah jawab aja!”
Kata-kata
Papa benar-benar seperti duri yang menusuk ke seluruh badanku. Tidak ada yang
mengerti perasaanku di rumah ini. Bahkan Mama-pun hanya diam saja dan sama
sekali tidak mengeluarkan sepatah katapun untuk membelaku.
Air
mata yang sedari tadi tertahan di pelupuk mata ini sudah tak dapat dibendung
lagi. Aku pergi meninggalkan kedua orang tuaku dan segera berlari menuju kamar.
Kurebahkan
tubuhku di atas tempat tidur berwarna biru langit. Air mataku tumpah ruah di
atas bantal bintang kesukaanku.
‘Kenapa belum Shalat? Jangan-jangan kamu diajarin
sama pacar kamu itu buat nggak Shalat ya!? Apa sih yang kamu harapkan dari dia?
Cinta dan kasih sayang? Omong kosong!’
Kalimat
itu terus terngiang-ngiang di telingaku.
TOK!
TOK! TOK!
“Mama
masuk ya?”
Mama
menghampiriku yang sedang terbaring di atas tempat tidur sambil terbungkus
selimut.
“Omongannya
Papa jangan terlalu dimasukkan ke dalam hati, Naya. Kamu tau kan, Papa nggak
bermaksud bikin Naya sedih.”
Aku
diam, tak membalas perkataan Mama. Mama terus membujukku agar tidak kesal
tehadap Papa.
“Boleh
saja Naya marah seperti ini, tapi ingat, jangan pernah salahkan
cinta, agama, apalagi Tuhan! Yang Mama tau, perbedaan itu ada untuk membuat
kita menjadi logis dan lebih dewasa.”
Aku tetap diam.
“Perbedaan agama memang
menjadi masalah besar dalam menjalin suatu hubungan, tapi ingat, jodoh itu
Tuhan yang mengatur, bukan agama yang mengatur jodoh, sayang.”
Mama benar. Kubuka selimutku dan langsung
kupeluk beliau.
“Ya sudah, Naya istirahat
ya!”
Kubalas perhatian Mama
dengan senyuman. Lalu, Mama berjalan meninggalkan kamarku setelah memberiku
beberapa kalimat pencerah.
“Oh iya, Naya sudah bilang
ke Angga kalau Naya mau ke Kairo?”, ucap Mama di tepat di depan pintu kamar.
DEG!
Seketika, jantungku
berhenti bedetak.
“Insya Allah besok, Ma.”
Mama tersenyum dan
meninggalkanku yang sedang berpikir bagaimana cara mengatakannya kepada Angga
besok.
***
ANGGA POV
Kuparkirkan mobil Ford Mustang EcoBoost warna
merah milikku agak jauh dari pintu masuk Kedai Melcosh, cafe
baru di daerah dekat rumah Naya yang terletak di Jl. Kaliurang Km. 23. Jarang
sekali dia mengajakku seperti ini. Jika dia seperti ini, kemungkinana ada 2
alasan, yaitu antara dia memang ingin kesini karena ini adalah tempat baru atau
dia ingin kesini untuk membicarakan sesuatu yang penting.
“Sudah dari tadi di sini,
Nay?”
Cafe ini begitu ramai oleh
beberapa pasangan kekasih dan beberapa kumpulan sahabat yang tengah
menghabiskan waktu senggang mereka disini.
Kuhampiri Naya yang sedang duduk di pojok ruangan. Sore
ini, Naya tampak cantik mengenakan t-shirt putih bertuliskan SLEEPY yang
dipadukan dengan flare skirt hijau toska serta ankle boots putih yang
dihiasi glitter.
“Aku juga baru datang kok,
Ngga.”
Seorang waitress
datang menghampiri kami sambil membawa 2 buah buku menu. Tidak sampai semenit,
kami sudah menyebutkan menu pilihan kami.
“Jadah bakar coklat sama latte
machiato”, sahutku dan Naya berbarengan.
Kemudian, waitress
itu menulis pesanan kami berdua dan segera pergi.
“Kamu suka jadah juga
ternyata?”, tanyaku.
Jadah adalah makanan khas daerah Kaliurang, Jogja. Di
tempat ini, jadah dijadikan semakin lezat dan menarik dengan tambahan variasi
rasa yang bermacam-macam, seperti rasa coklat, keju, dan lain-lain.
“Suka
dong.”, jawab Naya ceria.
“Tapi,
ngomong-ngomong, kok tumben kamu ngajak aku kesini? Ada apa?”
Naya
diam sebentar setelah kulontarkan pertanyaan itu. Dia seperti sedang
mempersiapkan 1001 kata-kata di dalam otaknya.
“Besok
aku mau pergi ke Kairo.”
DEG!
Aku
seperti tersengat tegangan listrik 220V. Rasanya ini tak mungkin. Aku yakin,
kali ini Naya hanya sedang bercanda.
“Kamu
lagi bercanda, Nay?”
“Aku
serius, Angga.”
Tuhan,
dia serius!
“Ngapain
ke Kairo? Liburan?”
“Bukan.”
Lalu,
apa kalau bukan liburan? Berkunjung ke sanak saudara? Tidak mungkin. Naya tak
memiliki kerabat disana. Lalu, apa?
“Angga,
aku ngelanjutin pendidikan di Kairo.”
“Ha?!
Kok kamu baru ngabarin sekarang sih, Nay?”
“Iya,
maaf. Soalnya aku juga baru diberi tau kemarin lusa kalau aku dapat beasiswa ke
Kairo.”
“Nggak
bisakah kita seperti kedua orang tuaku?”
“Maksudmu,
Ngga?”
“Ibuku
orang kristen, ayahku orang hindu. Mereka bisa hidup bersama walau beda
keyakinan. Makanya, namaku ada unsur hindunya, tapi agamaku kristen.”
Dia
terdiam mendengarnya. Aku tau dia tak bisa menjawab pertanyaanku tadi.
“Ah,
sudah, lupain aja kata-kataku tadi! By the way, selamat ya, Anaya Merista! Wah,
aku bangga sama kamu.”
Aku
tersenyum. Terseyum menutupi kesedihanku. Mengingat semua yang telah kita
lakukan bersama-sama, tawa maupun duka, haruskah kita berpisah secepat ini?
Haruskah?
NAYA POV
Kukira dia akan menghentikanku untuk ke Kairo. Tapi ternyata tidak. Aku
benar-benar berharap, dia akan memintaku untuk tetap tinggal di Indonesia. Jika
dia memintaku, aku akan tidak akan pergi. Sejujurnya, ini bukan keinginanku,
melainkan keinginan kedua orang tuaku.
“Kamu mau kuliah di
Universitas mana?”
“Universitas Al-Azhar.”
Dia melayangkan senyumnya
lagi. Aku ingin tau, sebenarnya, apa sih arti senyuman seorang Airlangga Niagarawan
barusan? Apakah senyuman itu benar-benar karena aku mendapat beasiswa ke Kairo
atau senyuman itu hanya tipuan untuk menutupi rasa sedihnya?
“Jurusan apa?”
“Lughah al-‘Arabiyyah wa al-Adab.”
“Ha?!
Itu jurusan apa?”
Aku
tersenyum seakan mengerti mengapa dia merasa asing dengan kalimat yang baru
saja kuucapkan.
“Jurusan
tentang sastra Arab, tapi lebih tinggi tingkatannya, karena nanti juga akan
dikenalkan tentang kebudayaan Arab.”
“Sulit
banget kedengarannya.”
“Senior-senior
yang dulu sih katanya banyak yang gagal di kuliah ini, karena nggak sanggup
buat mengikuti pelajaran-pelajaran sastra Arab yang menuntut keuletan dan
hafalan yang kuat serta penghayatan yang dalam.”
Pembicaraan kami berdua
semakin melebar kemana-mana. Seakan kami lupa dengan apa yang akan terjadi
besok. Bahkan makanan dan minuman pesanan kami yang telah sampai di meja-pun teranggur
begitu saja.
“Terus, kalau jurusan syariah...syariah...syariah
apa tadi, Nay?”
“Syariah wal-Qanun?”
“Iya, itu, Nay!”
“Kalau jurusan ini lebih
terkonsentrasi pada hukum-hukum internasional dan hukum positif lainnya, dan
lebih dekat ke hukum-hukum positif negara Mesir yang bersumber dari Perancis.
Katanya sih, kuliah di jurusan ini cukup berat, karena tebalnya materi yang
dipelajari, ditambah lagi dengan banyak kosa kata Arab kontemporer yang
menuntut kita untuk belajar lebih giat.”
“Terus,
kalau.......”
“Ah
sudah ah, kamu mah dari tadi terus-terus melulu!”, balasku yang segera meneguk
minuman favoritku; secangkir Latte Machiato.
***
Akhirnya
tibalah hari ini, hari sangat tidak kuharapkah, hari dimana aku dan Angga harus
berpisah. Aku pikir, aku tak akan pernah bisa melihatnya lagi, karena kecil
kemungkinan untuk dapat kembali ke Indonesia, negaraku tercinta.
Seusai
aku tamat kuliah nanti, kedua orang tuaku memutuskan untuk pindah ke Kairo
bersamaku. Tak kusangka, mereka benar-benar ingin aku melupakan pemilik nama
Airlangga Niagarawan.
Tapi,
sekeras apapun aku mencoba, sekeras apapun aku berusaha, pada akhirnya aku
sudah tau, jika aku tak akan pernah bisa melupakan perasaanku padanya. Terlalu
sulit buatku untuk melupakan laki-laki itu.
“Naya,
ayo berangkat ke bandara sekarang! Papa sudah nunggu di depan rumah tuh.”, ujar
Mama sambil membuayarkan lamunanku.
Segera
kurapikan kamarku sejenak, kemudian kuucapkan salam perpisahan kepada kamarku
dan seluruh isi rumah ini.
TIN!
TIN!
Klakson
mobil Papa telah memanggilku untuk segera keluar rumah. Kutarik koper merah
mudaku menuju bagasi mobil Papa yang sudah siap untuk mengantarkan anak kesayangannya
ini pergi menuntut ilmu ke tempat yang jauh.
WUSH!
Mobil
Papa melaju dengan cepat di tengah jalanan Kaliurang yang mulai terlihat padat
pagi ini. Seketika, pikiranku terfokus pada sebuah nama; Airlangga. Apakah dia
ikut mengantarku ke bandara? Atau mungkin dia hanya mengirim kata perpisahan
berupa pesan singkat saja?
Kulirik
ponsel yang berada di dalam genggamanku.
Tidak ada.
Tidak ada pesan darinya. Tidak mungkin jika dia tidak memberiku salam
perpisahan hari ini. Karena hari ini adalah hari terakhir kami bertemu. Dimana
sebenarnya dia? Apakah dia sudah sampai dulan di bandara? Entahlah.
***
“Para penumpang
pesawat Mesindo Airline QZ-253 dengan tujuan Kairo, mohon segera ke gerbang 05,
pesawat akan segera berangkat! Sekali lagi, para penumpang pesawat Mesindo
Airline QZ-253 dengan tujuan Kairo, mohon segera ke gerbang 05, pesawat akan
segera berangkat!”
Kupantau
terus jam tangan coklat muda di pergelangan kiriku. Saat ini, jam menunjukkan
pukul 11.00. Tapi, Angga tak kunjung datang untuk mengantar kepergianku.
“Naya,
ayo ke gate 5! Pesawat kamu sudah mau terbang tuh!”, ujar Mama sambil
menggandeng tanganku.
“Tapi,
Ang....”
“NAYAA!”
Tiba-tiba,
ada sebuah suara keras yang memanggil namaku dari belakang. Suara yang sangat
kukenal dan suara yang sangat kuharapkan kehadirannya.
“Angga?”,
ucapku sambil menoleh ke belakang. Rupanya, kini Angga telah berada tepat di
belakangku.
ANGGA POV
HOSH!
HOSH! HOSH!
Kuatur
nafas sebentar sebelum mengatakan ‘pidato perpisahan’ yang telah kupikirkan
semalaman.
“Na....”
“Naya,
ayo cepat, pesawat sudah akan berangkat ini!”, belum sempat aku mengatakan
sesuatu, Papa Naya yang nampak tidak senang dengan kehadiranku langsung
menyauti Naya. Tanpa basa-basi lagi, aku langsung mengatakan 1001 kata-kata
yang telah kupikirkan semalaman.
“Naya,
aku sayang kamu. Aku harap kamu tau bahwa perpisahan bukan akhir dari
segalanya. Jika memang nama kita ditulis untuk menjalani hidup bersama-sama,
maka sejauh apapun jarak dan ruang yang membentang diantara kita, pasti kita
akan bertemu kembali. Walaupun hal itu sangat mustahil, tapi aku selalu percaya
akan hal itu.”
Dia
menangis terharu.
Kuserahkan
bahuku untuknya menumpahkan air mata. Siang ini begitu mengharukan. Tangis perpisahan
mengalir diantara pipinya.
Melihat hal
ini, siapa tau Tuhanku dan Tuhannya sama-sama menghapus air mata di atas sana.
Tuhan memang satu, kita yang tak sama.
“Ambil
dan bawa ini bersamamu!”
Kutarik
tangannya yang sedingin es itu, kemudian kuberikan sebuah kotak kecil berwarna
hijau toska favoritnya. Kotak kecil itulah alasan mengapa aku telat datang
kemari.
Sebelum
berangkat menuju bandara, kusempatkan diri untuk membeli sebuah kenang-kenangan
yang akan mengingatkannya selalu padaku. Sebuah kalung emas putih yang terukir
huruf A ditengahnya. Anaya dan Airlangga.
“Terima
kasih atas segala kebahagiaan yang pernah aku rasakan ketika bersamamu,
Airlangga Niagarawan. Selamat tinggal!”
Kami
berdua sama-sama tersenyum. Yah, walaupun kami tau, ada sejuta perasaan tak
rela satu sama lain.
Dia
melangkahkan kakinya menuju gerbang 05, tempat dimana sebuah pesawat besar
menunggu untuk mengantarkannya menuju ke Kairo.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar