Antara Aku, Kau, dan Tuhan
Oleh : Baiq Ayu
“Terkadang Tuhan menguji manusia dengan cinta
beda agama dengan satu alasan. Tuhan ingin melihat apakah hamba-Nya lebih
mencintai Sang Pencipta atau justru ciptaan-Nya.”
***
NAYA POV
CEKREK!
CEKREK!
“Lagi
motret apa, Nay?”
Setelah
melihat hasil jepretanku, kukalungkan kembali sebuah kamera canon dengan tipe
650D milikku. Aku tersenyum mendengar pertanyaan itu. Jelas-jalas dia sudah
tau, tapi masih saja bertanya.
“Halah,
kamu pasti tau kok!”, sahutku sambil nyengir.
“Langit,
langit, dan langit. Kenapa sih kamu suka banget sama langit?”
Pertanyaan
itu juga sering kulontarkan pada diriku. Kenapa aku suka sekali pada langit?
Mungkin, karena di atas sana ada Dia. Dia yang selalu melindungiku. Dia yang
selalu menjadi tempatku mengadu keluh kesah. Dia Sang Pencipta semesta alam yang
Maha Kuasa.
“Entahlah,
Ngga. Aku ngerasa seneng aja.”
Airlangga
Niagarawan adalah sosok yang akhir-akhir ini sering mengisi hari-hariku. Kami
adalah pecinta seni fotografi. Setiap akhir pekan, kami selalu menyempatkan
diri untuk ‘berpetualang’ mencari objek kamera yang pas untuk dipotret.
Akhir pekan kali ini, kami berdua
mengunjungi Pantai
Indrayanti yang tepatnya berada di desa Tepus, Wonosari, Gunung Kidul,
Yogyakarta. Pantai yang terdiri dari hamparan pasir putih serta batuan karang yang
terbentuk melalui proses sampai ribuan tahun ini membuat kami merasa sepeti ada
di salah satu surganya Indonesia.
Kulirik
jam tangan coklat muda yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Sekarang
sudah jam 1 siang, saatnya untuk melaksanakan kewajiban bagi setiap umat Islam;
Shalat Dzuhur.
“Ngga,
aku ke Mushalla dulu ya, mau shalat. 10 menit lagi aku kembali, oke?”
Dia
hanya tersenyum tipis tanpa mengeluarkan sepatah kata “Iya” atau “Oke”.
Ketika
aku masuk ke dalam Mushalla, aku merasakan ribuan hembusan nafas malaikat di
atas kepalaku.
Seringkali,
aku berpikir, kapan aku bisa berada disini bersama dengan dia? Melangkahkan
kaki bersama-sama menuju Masjid? Shalat dengan diimami olehnya? Berdoa menyebut
nama Tuhan yang sama? Membaca Al Quran bersama? Kapan?
Mengapa
Engkau menciptakan perbedaan?
Mengapa
Engkau mempertemukan kita bila pada akhirnya agamalah yang memisahkan?
Aku
tidak mengeluh kepada-Mu, tetapi aku bertanya. Cinta. Haruskah memandang
perbedaan agama?
ANGGA POV
Anaya Merista. Nama itu tidak akan
pernah berubah menjadi Anaya Merista Niagarawan. Tidak akan.
Mengapa?
Karena itu tidak mungkin terjadi. Kami
berbeda. Jelas-sangat-amat berbeda. Dia
tidak ditakdirkan untukku, begitu pula sebaliknya, aku tidak ditakdirkan
untuknya.
Kami tau, kami hanyalah dua orang
insan manusia yang saling menyebut nama satu sama lain ketika berdoa. Kami tau
hanya sebatas itu.
Kadang kala aku bertanya, mengapa Dia
mempertemukan kami, jika pada akhirnya kami tak bisa dipersatukan oleh sebuah
ikatan keindahan-Nya? Mengapa?
Aku
tidak akan pernah bisa mengimaminya shalat di Masjid. Dan dia tidak akan pernah
bisa menemaniku berdoa di Gereja.
10
menit kemudian telah berlalu. Naya datang sambil membawa 2 kaleng minuman.
“Tadi
aku beli ini di toko depan Mushalla. Kamu suka rasa apel kan, Ngga?”
“Iya.
Karena kamu udah beli ini, nanti gantian aku deh yang beli makanan.”
Dia
tertawa.
Yah, walaupun hanya sebentar dan tidak
terlalu ‘ngakak’ tapi itu sudah cukup membuatku senang. Jarang-jarang dia bisa
tertawa ketika bersamaku. Karena sulit sekali membuat orang satu ini tertawa.
“Nay, pulang yuk, keburu sore!”
“Makan duluu!”, katanya sambil
menunjukkan ekspresi ‘memelas’ yang sengaja dibuat-buat.
“Iyeee.”
Setelah
berjalan beberapa menit, sampailah kami di sebuah Resto & Cafe yang
terletak di sekitar sini.
“Mau
makan apa? Aku yang traktir deh.”
“Horee,
ditraktir Angga!”, ucapnya sambil tersenyum lebar.
Dia
begitu kekanak-kanakan. Tapi justru itu yang membuatku menyayanginya. Sikapnya
yang seperti anak kecil membuatku ingin selalu melindunginya. Yah, walapun aku
tau jika dia memiliki Tuhan yang selalu menjaganya setiap waktu, tapi aku juga
ingin menjaga Naya seperti-Nya.
Makanan
telah tiba di meja kami. Dua porsi fried calamari lengkap dengan nasi, sambal dan
lalapan serta 2 gelas lemon tea menghiasi meja makan kami yang sedari
tadi kosong.
Sebenarnya aku paling benci saat-saat
seperti ini, bukan kerana makanannya yang tidak lezat, bukan karena Naya yang
selalu memainkan ponsel ketika sedang makan, tetapi karena hal yang kami
lakukan sebelum makan; berdoa.
Yah,
cara kami berdoa berbeda. Dia menadahkan tangan ke atas, sedangkan aku tidak.
Caraku berbeda dengan caranya. Kami menyebut nama Tuhan yang berbeda. Kami
diberikan nikmat dan rezeki oleh Tuhan yang berbeda. Semuanya berbeda.
“Allahumma baarik lanaa
fiima razaqtanaa waqinaa adzaa ban-naar. Amiin.”
Aku
memperhatikan caranya berdoa. Setiap kata yang terucap dari bibirnya merupakan
kalimat yang asing bagiku.
“Ngapain
sih, Ngga, liatin aku kayak gitu?”
“Kapan
ya kita bisa berdoa dalam satu meja sambil menyebut nama Tuhan yang sama?”
Bodoh!
Bagaimana bisa aku bertanya pertanyan tak logis seperti itu pada Naya?
Aku
tau, dia agak sedikit kaget. Tapi dia tetap membalas pertanyaanku walau hanya
dengan sebuah senyuman sederhana.
BERSAMBUNG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar