Sabtu, 25 April 2015

Antara Aku, Kau, dan Tuhan (Bagian pertama)


Antara Aku, Kau, dan Tuhan
Oleh : Baiq Ayu

Terkadang Tuhan menguji manusia dengan cinta beda agama dengan satu alasan. Tuhan ingin melihat apakah hamba-Nya lebih mencintai Sang Pencipta atau justru ciptaan-Nya.”
***
NAYA POV
            CEKREK! CEKREK!
            “Lagi motret apa, Nay?”
            Setelah melihat hasil jepretanku, kukalungkan kembali sebuah kamera canon dengan tipe 650D milikku. Aku tersenyum mendengar pertanyaan itu. Jelas-jalas dia sudah tau, tapi masih saja bertanya.
            “Halah, kamu pasti tau kok!”, sahutku sambil nyengir.
            “Langit, langit, dan langit. Kenapa sih kamu suka banget sama langit?”
            Pertanyaan itu juga sering kulontarkan pada diriku. Kenapa aku suka sekali pada langit? Mungkin, karena di atas sana ada Dia. Dia yang selalu melindungiku. Dia yang selalu menjadi tempatku mengadu keluh kesah. Dia Sang Pencipta semesta alam yang Maha Kuasa.
            “Entahlah, Ngga. Aku ngerasa seneng aja.”
            Airlangga Niagarawan adalah sosok yang akhir-akhir ini sering mengisi hari-hariku. Kami adalah pecinta seni fotografi. Setiap akhir pekan, kami selalu menyempatkan diri untuk ‘berpetualang’ mencari objek kamera yang pas untuk dipotret.
Akhir pekan kali ini, kami berdua mengunjungi Pantai Indrayanti yang tepatnya berada di desa Tepus, Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta. Pantai yang terdiri dari hamparan pasir putih serta batuan karang yang terbentuk melalui proses sampai ribuan tahun ini membuat kami merasa sepeti ada di salah satu surganya Indonesia.
            Kulirik jam tangan coklat muda yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Sekarang sudah jam 1 siang, saatnya untuk melaksanakan kewajiban bagi setiap umat Islam; Shalat Dzuhur.
            “Ngga, aku ke Mushalla dulu ya, mau shalat. 10 menit lagi aku kembali, oke?”
            Dia hanya tersenyum tipis tanpa mengeluarkan sepatah kata “Iya” atau “Oke”.
            Ketika aku masuk ke dalam Mushalla, aku merasakan ribuan hembusan nafas malaikat di atas kepalaku.
            Seringkali, aku berpikir, kapan aku bisa berada disini bersama dengan dia? Melangkahkan kaki bersama-sama menuju Masjid? Shalat dengan diimami olehnya? Berdoa menyebut nama Tuhan yang sama? Membaca Al Quran bersama? Kapan?
            Mengapa Engkau menciptakan perbedaan?
            Mengapa Engkau mempertemukan kita bila pada akhirnya agamalah yang memisahkan?
            Aku tidak mengeluh kepada-Mu, tetapi aku bertanya. Cinta. Haruskah memandang perbedaan agama?

ANGGA POV
Anaya Merista. Nama itu tidak akan pernah berubah menjadi Anaya Merista Niagarawan. Tidak akan.
Mengapa?
Karena itu tidak mungkin terjadi. Kami berbeda. Jelas-sangat-amat berbeda.  Dia tidak ditakdirkan untukku, begitu pula sebaliknya, aku tidak ditakdirkan untuknya.
Kami tau, kami hanyalah dua orang insan manusia yang saling menyebut nama satu sama lain ketika berdoa. Kami tau hanya sebatas itu.
Kadang kala aku bertanya, mengapa Dia mempertemukan kami, jika pada akhirnya kami tak bisa dipersatukan oleh sebuah ikatan keindahan-Nya? Mengapa?
       Aku tidak akan pernah bisa mengimaminya shalat di Masjid. Dan dia tidak akan pernah bisa menemaniku berdoa di Gereja.
            10 menit kemudian telah berlalu. Naya datang sambil membawa 2 kaleng minuman.
            “Tadi aku beli ini di toko depan Mushalla. Kamu suka rasa apel kan, Ngga?”
            “Iya. Karena kamu udah beli ini, nanti gantian aku deh yang beli makanan.”
            Dia tertawa.
Yah, walaupun hanya sebentar dan tidak terlalu ‘ngakak’ tapi itu sudah cukup membuatku senang. Jarang-jarang dia bisa tertawa ketika bersamaku. Karena sulit sekali membuat orang satu ini tertawa.
“Nay, pulang yuk, keburu sore!”
“Makan duluu!”, katanya sambil menunjukkan ekspresi ‘memelas’ yang sengaja dibuat-buat.
“Iyeee.”
            Setelah berjalan beberapa menit, sampailah kami di sebuah Resto & Cafe yang terletak di sekitar sini.
            “Mau makan apa? Aku yang traktir deh.”
            “Horee, ditraktir Angga!”, ucapnya sambil tersenyum lebar.
            Dia begitu kekanak-kanakan. Tapi justru itu yang membuatku menyayanginya. Sikapnya yang seperti anak kecil membuatku ingin selalu melindunginya. Yah, walapun aku tau jika dia memiliki Tuhan yang selalu menjaganya setiap waktu, tapi aku juga ingin menjaga Naya seperti-Nya.
            Makanan telah tiba di meja kami. Dua porsi fried calamari lengkap dengan nasi, sambal dan lalapan serta 2 gelas lemon tea menghiasi meja makan kami yang sedari tadi kosong.
Sebenarnya aku paling benci saat-saat seperti ini, bukan kerana makanannya yang tidak lezat, bukan karena Naya yang selalu memainkan ponsel ketika sedang makan, tetapi karena hal yang kami lakukan sebelum makan; berdoa.
            Yah, cara kami berdoa berbeda. Dia menadahkan tangan ke atas, sedangkan aku tidak. Caraku berbeda dengan caranya. Kami menyebut nama Tuhan yang berbeda. Kami diberikan nikmat dan rezeki oleh Tuhan yang berbeda. Semuanya berbeda.
            Allahumma baarik lanaa fiima razaqtanaa waqinaa adzaa ban-naar. Amiin.”
            Aku memperhatikan caranya berdoa. Setiap kata yang terucap dari bibirnya merupakan kalimat yang asing bagiku.
            “Ngapain sih, Ngga, liatin aku kayak gitu?”
            “Kapan ya kita bisa berdoa dalam satu meja sambil menyebut nama Tuhan yang sama?”
            Bodoh! Bagaimana bisa aku bertanya pertanyan tak logis seperti itu pada Naya?
            Aku tau, dia agak sedikit kaget. Tapi dia tetap membalas pertanyaanku walau hanya dengan sebuah senyuman sederhana.

BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar