Jumat, 20 Maret 2015

Maaf, Maaf, dan Maaf (Bagian Terakhir)


Hari demi hari berlalu begitu cepat. Tak terasa, hari ini tanggal 20 Juni adalah hari ulang tahunku yang ke-19 tahun.
Ulang tahun kali ini berjalan seperti hari-hari biasanya. Tidak ada kue, lilin, dan hadiah. Hanya ucapan selamat ulang tahun dari mama dan beberapa temanku di UI. Mama kian hari kian sibuk bekerja di kantor karena (katanya) bulan ini sedang banyak client.
TOK TOK TOK..
“Bella, ada tamu di depan pintu! Bukain pintunya gih!”
“Iya, ma.”
CEKLEK..
Ketika aku membuka pintu, tidak ada orang disana. Mungkin cuma anak tetangga yang sedang iseng.
“HAPPY BIRTHDAY, BELLAAAA!!!!”
Tiba-tiba, muncullah sesosok Michella Syagina dari balik pohon mangga yang terletak tak jauh dari rumahku.
“Gina?! Ya ampun...”, ucapku tak menyangka.
Gina datang sambil membawa sebuah kue tart coklat yang dihiasi dengan potongan buah stroberi di atasnya. Hmmm, yummy!
“Happy birthday, Bella-ku sayang! Wish you all the best. Muahh..”, kata Gina sambil melayangkan ciuman ke pipiku.
“Ini gue bawain kue tart dari bakery favorit lo, Bread City Bakery. Dan gue punya satu hadiah spesial lagi buat lo.”, tambahnya lagi dengan senyum lebar.
“Apaan sih? Bikin penasaraan aja! Haha..”, balas gue sambil sedikit tertawa.
“Silahkan lihat ke belakang gue!”, kata Gina sambil tersenyum lagi. Senyum Gina kali ini terlihat berbeda. Seperti senyum kasihan bercampur dengan senyum haru.
Ketika Gina berjalan agak ke samping, aku melihat seorang laki-laki datang ke arahku. Laki-laki yang berpakaian seragam pilot lengkap dengan topi pilotnya. Laki-laki yang terlihat gagah itu menyimpan sejuta kerinduan dalam hatinya. Aku bisa melihat semua itu, dari matanya. Mata yang seolah menuliskan ‘Aku merindukanmu, Bella.’.
Itu Revan. Revan yang berjalan ke arahku.
“Hai, Bella! Apa kabar?”
Sudah 5 tahun aku menunggunya. Dan kini, dia akhirnya datang juga.
“Kabarku lagi gak baik!”
TESSS...
Entah kenapa, air mata ini ingin mendesak keluar dari pelupuk mataku.
“Bel, aku.........”
“Aku gak baik!! Aku bilang, aku gak baik!! Kamu tau, berhari-hari, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun aku nunggu kamu. Nunggu kamu buat menerima permintaan maafku. Tapi kamu? Kamu malah apa? Kamu malah ninggalin aku kayak gini. Kamu malah buat aku nunggu selama 5 tahun. Aku nunggu dengan rasa bersalah setiap hari, kamu tau itu!!”
“Sekarang, gantian aku yang minta maaf. Aku minta maaf karena sudah buat kamu merasa bersalah selama 5 tahun. Aku bener-bener minta maaf, Bel. Aku tau, aku salah. Sebenarnya, aku sudah maafin kamu dari dulu, dari kamu pertama kali minta maaf ke aku. Aku gak tega kalau gak maafin kamu, Bel. Aku sayang sama kamu. Ada niat nyakitin kamu aja aku gak tega! Sungguh!”
“Terus kenapa kamu ninggalin aku? Kenapa kamu gak bilang kalau kamu sudah maafin aku? Kenapa? Coba jawab!”
“Aku gak berani. Aku gak berani buat ngomong lagi sama kamu, semenjak kamu nangis sampai pingsan itu. Aku takut buat kamu sedih lagi, Bel. Makanya, aku pikir jika kita sudahin hubungan kita ini, mungkin lebih baik.”
“Kamu bodoh!! Bodoh udah buat aku nunggu sampai 5 tahun!! Bodoh!!”
“Maaf.”
Revan menarikku ke pelukannya. Pelukan hangat ini sudah lama aku rindukan. Dia mengusap-usap rambut panjangku selagi aku masih menangis. Aku bukan menangis bersedih, tetapi menangis bersyukur karena telah dipertemukan dengannya.
“Ahhhh, kalian berdua so sweet banget sih!”, ucap Gina sambil mengeluarkan ingus dari hidungnya. Gina juga ikutan menangis rupanya.
“Bel, biar gue perjelas. Jadi, Revan ini sepupu gue yang kita jemput di Bandara Soekarno-Hatta itu. Dia kesini karena mau ngurus dokumen-dokumen kelulusan sekolah pilotnya. Dan Revan tau kalo lo itu temen gue, pas lo ketiduran di mobil itu.”, jelas Gina panjang lebar.
Aku menatap mata Revan sebentar, seolah bertanya akan kebenaran perkataan Gina. Revan membalasnya dengan tersenyum sambil menganggukan kepala.
Aku tahu, ini merupakan suatu kebetulan. Tapi aku juga yakin, ini merupakan suatu takdir yang telah digariskan oleh-Nya.
Terima kasih, Tuhan, karena telah mengembalikan Revan ke dalam hidupku. Kini hidupku terasa berwarna lagi seperti dulu.
Dan terima kasih, Revan, karena telah memberikan berjuta warna dalam hidupku.
Terima kasih.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar